Sengat matahari sepenggalah cukup mencucuk-cucuk di kulit Armelco, pemuda berkulit hitam keturunan Hispanik yang sedang tegang menunggu dentang bel balai kota. Yap, dia sedang menunggu untuk digantung di depan kantor walikota. Peraturan walikota saat itu adalah, tepat tengah hari bila bel balai kota berdentang, siapapun yang mendapat hukuman dari pengadilan, harus digantung.
Awal ceritanya, tepat 90 hari lalu, Armelco membantu ibu seorang teman yang terlihat susah payah membawa sekarung barang. Dia tak tahu barang apa itu. Yang Armelco tahu dia hanya bertindak atas dasar rasa kemanusiaan, dia tak tega melihat wanita tua itu tebungkuk-bungkuk membawa beban seberat itu. Rasa kemanusiaan itu pula yang menyebabkan dia menghadapi tiang gantungan siang itu.
Bel besar balai kota itu berdentang 11 kali, pertanda maut akan menjemputnya dalam satu jam mendatang. Matanya nanar melihat sekeliling, mencoba mencari sesosok perempuan tua bertudung, Maria Magdalena, ibunya. Perempuan bersahaja, mantan budak raja yang lalu dijadikan selir. Yang karena alasan politis tidak diakui keselirannya (jadi inget mantan artis yang anaknya sekarang jadi pejabat ya, hehehe). Balik lagi ke Armelco, sosok yang dicarinya tak kelihatan. Sama sekali tiada tanda-tanda kehadiran ibunda tercintanya. Dia ingin meminta maaf dan berpamitan untuk terakhir kalinya, agar perjalanan kematiannya sempurna. Padhang dalane jembar kubure, kata orang Jawa (lho, ini kan setting lokasinya di Amerika Selatan,, gpp yoo).
Sekali lagi matanya yang mulai redup, kehilangan semangat hidup itu melihat sekeliling. Tetap saja tak ada titik terang kehadiran ibundanya. Ah, mungkin dia tak tega, atau mungkin juga malu, atau bahkan jijik dengan kejadian ini, pikir Armelco yang mulai putus asa dan hilang akal sehatnya.
Orang-orang sudah semakin ramai berkerubung di dekat tiang gantungan. Ada yang kasihan dan menitikkan airmata, mengingat betapa baik keseharian Armelco. "Seorang anak muda yang malang", kata seorang di tengah kerumunan itu. Tapi tak sedikit juga yang menghujat dan menghinanya. Bahkan, beberapa anak kecil melemparinya dengan kerikil. Semakin ngenes saja perasaan Armelco ini. Ah, memang dasar sudah nasib, pikirnya.
Matahari sudah tepat diatas kepala, waktunya bel berdentang 12 kali. "Berarti sudah waktunya aku menghadapi kematian", pikir Armelco. Petugas penarik tali bel telah memegang tali tersebut, algojo telah menggenggam tali untuk dikalungkan di lehernya. "Selamat tinggal ibunda, selamat tinggal Inercito, kota kelahiran tercinta, selamat tinggal dunia", bunyi doa pemuda ini. Begitu tali gantungan itu dikalungkan di lehernya, penarik tali bel balai kota yang besar itu dengan sepenuh tenaga menariknya.
Ajaib, bel itu tak berdentang! Petugas bel itu kembali menarik tali dengan sekuat tenaga. Tetap saja tak berbunyi. Dicoba terus-menerus tetap tak terdengar dentang bel besar pemberian raja itu. Justru yang terjadi adalah, bel itu meneteskan darah! Ya, darah merah selayaknya manusia. Semakin keras petugas itu menarik tali, semakin banyak darah yang menetes. Bahkan, sampai waktu tengah hari terlewati, bel itu tak kunjung berbunyi. Maka, sesuai peraturan walikota, Armelco dibebaskan dari hukuman gantung, karena bel balai kota tak berdentang pada tengah hari itu.
Betapa girang hati Armelco. Dengan semangat dia menaiki tangga balai kota, menuju bel tersebut untuk diciumnya, sebagai tanda terima kasih, karena tak berdentang disaat dia sudah dipastikan menghadapi hukuman mati.
Sewaktu mencium bel balai kota itu, dia mencium aroma yang tak asing, aroma anyir darah. Dan dari dalam lubang bel tersebut memang meneteskan darah! Melongoklah Armelco kedalam bel besar itu, dan menangislah Armelco dengan sekeras-kerasnya.
Ya, didalam bel besar itu dia melihat ibunya mengikatkan tubuh ringkihnya dengan bola baja yang menggantung ditengah bel, agar setiap kali tali bel ditarik, bel tersebut takkan berbunyi, karena terhadang tubuh ibunya.
0 Comments:
Posting Komentar