Pemulung Punya Rumah Senilai Rp.750 Juta

Pria yang dulunya keluar masuk lorong mencari barang rongsokan (besi tua) ini tak pernah mengira akan punya usaha sendiri. Apalagi usahanya mampu menghasilkan omzet sampai ratusan juta per bulan.

Abdul Rahman mengaku tidak pernah tahu kapan tepatnya dia dilahirkan. Dia hanya paham orang tua melahirkannya di Makassar yang saat itu masih bernama Ujung Pandang, tahun 1951. Maklum, dia merasa tidak harus mempersoalkan tanggal kelahirannya karena tidak pernah sekali pun mengecap bangku sekolah.

Namun, siapa sangka, lelaki yang belajar dari alam ini menjadi sandaran hidup 20 orang yang bekerja di perusahaan besi tua miliknya, di Jalan Sepakat, Kelurahan Karuwisi, Kecamatan Panakkukang, Makassar, Sulawesi Selatan. Dibantu istrinya, Fifa, 40, yang berbekal kemampuan membaca dan menulis yang diperoleh dari bangku kelas 2 SD, perusahaannya setiap bulan bertransaksi ratusan juta rupiah dengan perusahaan besar yang membeli besi tua yang dikumpulkannya.

Suksesnya saat ini tentu tidak datang begitu saja. Usahanya yang menghasilkan keuntungan menggiurkan merupakan buah perjuangan panjang Rahman. Betapa tidak, saat umurnya menginjak 16 tahun, dia sudah hidup sebatang kara karena kedua orang tuanya meninggal dunia.

Tak ada pilihan, dia harus menghidupi diri sendiri dengan segala cara. Usaha kali pertama yang dilakoninya adalah mengumpulkan pecahan beling. Hasilnya, cukup dimakan untuk hari itu juga. Sekitar tahun 1970-an, dia beralih mengumpulkan barang rongsokan untuk seorang pengumpul bernama Husain. Saat itu, Rahman muda harus keluar masuk lorong untuk mencari besi itu. Beberapa tahun kemudian, setelah usaha juragannya agak maju, dia mendapat becak sebagai sarana angkutan.

“Dulu waktu keliling-keliling ka cari besi tua, Ujung Pandang masih kecil, rongsokan juga masih sedikit sekali,” katanya.

Usaha Rahman yang kini memanfaatkan kontainer untuk mengirim besi tua ke Surabaya dan Jakarta bermula ketika bosnya menyarankannya membuka usaha sendiri.

Saat itulah, sekitar 1975, dengan modal Rp30.000 hasil jerih payahnya, pria yang memiliki lima anak ini memutuskan menyewa rumah dan mengumpulkan rongsokan sendiri. Rahman mengaku, saat mulai berdiri sendiri, besi tua masih dianggap sampah. “Dulu kalau orang lewat di depan rumah, mereka itu meludah, dia bilang buat apa barang begini kau kumpulkumpul, jadi sampah saja,” kenangnya.

Seiring pertumbuhan industri pengolahan barang bekas,sekitar tahun 1995, permintaan besi tua mulai meningkat. Rahman bahkan didatangi beberapa perusahaan untuk membeli besi tua yang dia kumpulkan. Rahman jeli melihat peluang tersebut dan terus mengembangkan usahanya serta merangkul anak jalanan untuk mencari besi tua. Usahanya pun semakin berkembang hingga akhirnya bisnis besi tua ini menjamur sampai ke beberapa daerah di Sulawesi.

Rahman pun tak lagi mengumpulkan besi tua “eceran”,tetapi menerima besi tua per ratusan kilo dari pengumpul kecil di setiap daerah. Pembeli di atasnya juga semakin bertambah karena pria bertubuh kekar ini berprinsip menerapkan untung yang sedikit, tetapi volume barang yang keluar banyak.“Kalau besi paling banyak kita dapat untuk Rp500 satu kilonya, tetapi kan yang penting banyak yang senang karena lebih murah,” katanya.

Saat ini, suplai besi tua bukan hanya dari Makassar, tetapi juga dari daerah Palu, Soroako,Kendari, dan Manado.Rahman kini mampu menjual sampai 15 kontainer besi tua per bulan ke pabrik pengolahan di Surabaya maupun Jakarta.

Omzetnya pun kini mencapai Rp945 juta lebih dengan asumsi besi tua yang dia jual sebesar Rp3.500 per kilo ke pembeli saat ini.Total keuntungan Rahmat tiap bulannya mencapai Rp90 juta, lebih dari keuntungan Rp500 per kilogram besi tua yang dijualnya. Belum lagi keuntungan yang diperoleh dari beberapa jenis logam bekas lain seperti tembaga, kuningan, dan aluminium. Dari setiap kilo tembaga yang dia beli dengan harga Rp50 ribu,dia mendapat keuntungan sekitar Rp15.000. Adapun dari kuningan dan aluminium dia bisa mendapat keuntungan sekitar Rp5.000 dan Rp2.000 per kilo. “Ini sedikit, tetapi untungnya besar dibandingkan besi tua yang hanya Rp200 per kilo,” terangnya.

Kini Rahman tinggal mengenang kerasnya hidup yang dia lalui saat masih berumur 16 tahun. Bersama keluarga, dia menikmati kesuksesannya di sebuah rumah mewah bertingkat senilai Rp750 juta di Jalan Sepakat Makassar.

Rahman kini juga tak lagi mesti menenteng karung keluar masuk lorong di Makassar mencari rongsokan karena dia sudah memiliki dua kendaraan pengangkut besi tua, yakni Daihatsu Gran Max Pic Up dan L300. Dari usahanya pula dia memiliki dua kendaraan pribadi, Honda CR-V dan Susuki Escudo. Usaha yang dia beri nama Basto (Makassar: bassi toa) yang berarti besi tua ini juga dilakoni empat oranganaknya.

Meskipun belum begitu besar, usaha tersebut mampu mereka jalani berkat bantuan modal dari sang ayah. “Mereka itu sannammi (sudah enak), biar sampai rumahnya kita semua mi yang belikan, apalagi modalnya,” jelas Rahman dengan aksen Makassarnya.

0 Comments:

Posting Komentar