Surat Untuk Rasulullah

Bismillahirrahmannirrahim
Assalamualaykum Warahmatullahi Wabarakatuh
Assalamualayka ya Rasulullah

Dengan tangan kotor berlumur dosa Ya Rasul, Sepucuk surat ini kutulis dengan tinta iman yang kini semakin mengering, dan di atas kertas hati yang semakin buram dengan coretan-coretan kemunafikan.

Untukmu di sana wahai makhluk suci yang sangat merindukan kami. Shalawat dan salam atasmu wahai pemimpin para Nabi. Engkaulah sang pembawa risalah yang telah menunaikan amanah langit di bumi.

Duh..! Andai saja saat ini engkau di sini. Tentulah tak ada kaum yang menghinakan kami. Apalagi memecah belah umat ini. Bendera Islam pun berkibar di puncak tertinggi. Tak banyak yang ingin kusampaikanYa Rasul, hanya ingin menceritakan keadaan kami.

Ya..! Kami. Umatmu yang kau sebut sebagaimana dalam hadits dengan “Saudara-saudaramu yang kau rindukan”.

Bukankah engkau yang mengatakan kepada para sahabat-sahabat muliamu: “Aku ingin (sekali) bertemu dengan saudara-saudara kita” Lalu para sahabat pun bertanya: “Bukankah kami semua saudaramu ya Rasul?”
Engkau menjawab: “Bukan! Kalian adalah sahabat-sahabatku. Sedangkan saudaraku adalah mereka yang hidup setelah(ku).” (Musnad Imam Ahmad)

Wahai Rasul! Saudara-saudaramu yang kau rindukan ini sedang sakit parah. Dunia telah meredupkan cahaya
iman kami. Membutakan mata hati kami. Menggiring kami memasuki lobang-lobang kehinaan.

Wahai Rasul! Para wanita golongan kami yang dulu mati-matian kau perjuangkan kemuliaan dan kehormatannya kini malah setengah mati menjatuhkan diri mereka di lembah kerendahan.

Para anak-anak yang kau katakan amanah yang tak boleh disia-siakan sekarang ditelantarkan dan disuap dengan butiran-butiran nasi basi keterbelakangan. Para orang tua yang kau larang disakiti, kini sangat mudahnya dizhalimi. Keadilan yang begitu kau agung-agungkan pun, kini seperti sebuah khayalan.

Wahai Rasul! Benarkah kami yang kau rindukan? Sedangkan shalatmu dan shalat kami seperti langit dan bumi. Kami lalai dalam zikir kami bagaimana mungkin kami berdzikir dalam kelalaian kami. Bacaan Qur’an kami juga hanya sampai di makhraj hamzah, terhenti disitu jarang menembus kulit hati kami. Mata kami sering basah, menangis, tapi bukan karena rindu kami kepadamu Ya Rasul..

Kami hanya menangis saat kehilangan dunia kami. Kami pun bersedih, tapi bukan karena ibadah-ibadah yang luput terlewati.

Wahai Rasul! Alangkah cintanya engkau kepada kami, umatmu yang kini sering melupakanmu. Padahal nanti saat manusia-manusia saling menyalahkan, saat semua orang dan bahkan para Nabi pun mementingkan diri sendiri agar selamat dari azab Allah sambil mengatakan “Nafsi-nafsi”(diriku-diriku) Lisanmu yang mulia itu malah mengulang-ulang kalimat: “Ummati-Ummati” (Umatku-umatku).

Hati siapa yang tak akan luluh bila mengetahui cintamu kepada umatmu? Air mata siapa yang tak menetes jika mengingat perjuanganmu? Kepala yang mana yang tidak tertunduk malu mengenang sejarah hidupmu? Kecuali hati yang telah telah tertutupi dosa mata yang silau dengan dunia, dan kepala orang-orang pongah yang tak tahu diri.

Wahai Rasul! Masih ingat dalam ingatanku engkau pernah bersumpah: “Demi (tuhan) yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya. Tidak sempurna iman seseorang diantara kamu sampai aku dicintainya melebihi cintanya kepada anaknya, orang tuanya, dan manusia seluruhnya.”

0 Comments:

Posting Komentar